Cari Blog Ini

Jumat, 06 Mei 2011

Estetika dan Seni Islam
Menurut Al-Farabi

Diskurkus mengenai estetika dan seni sudah hadir berabad lamanya, yang awalnya didahului oleh para pemikir Barat yang terus mewarnai pemikiran tentang seni. Bahkan, pemikiran estetika saat itu digeluti dengan berbagai pertentangan mengenai hakekat seni, hubungan seni dengan realitasnya, dan fungsinya dalam kebudayaan masyarakat. Akan tetapi, persoalan tersebut akhirnya sampai juga pada dunia Islam yang kurang lebih hadir sejak abad ke-20. Hal ini terlihat bahwa pemikiran Barat sangatlah mempengaruhi pemikiran di Islam.
Kemudian, diskursus mengenai estetika di dunia Islam pun terus mencuat dan berkembang oleh para pemikir Islam. Alhasil, dari karya seninya masih tetap terus berlanjut hingga saat ini, seperti kaligrafi, musik, sastra, seni rupa dan sebagainya. Namun, berbagai pandangan bermunculan yang sudah ada sejak adanya sebuah hadits yang mengatakan bahwa Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang. Dari itulah, awalpertentangan terjadi, hingga terjadi perdebatan dalam Islam yang mana fuqaha dan ulama memfatwakan bahwa menggambar atau membuat sebuah karya yang menyerupai seperti makhluk hidup itu dilarang dalam Islam.

Sebagaimana diketahui, bahwa timbulnya permasalahan dalam seni dan estetika, ketika seni itu hadir dengan diciptakan oleh manusia, yang mana penciptaannya menyerupai apa yang Tuhan ciptakan di bumi secara zhahir. Dari ini, maka adanya larangan terhadap sebuah karya seni yang ternilai menyerupai ciptahan Tuhan. Oleh karenanya, estetika dan seni Islam cenderung dibatasi dalam berekspresi dan berimajinasi. Meskipun, hanya dalam konteks tertentu hal ini terjadi. Namun, setidaknya perlu diketahui bahwa Islam memiliki keunikan tersendiri dalam soal estetika dan seninya serta Islam dapat memberikan ruang yang luas bagi seni itu sendiri.
Berbeda dengan apa dikatakan Al-Farabi, ia membuat seni semakin mempunyai tempat di mana saja seni itu dapat berekspresi, tidak ada tabir yang membatasinya. Karena bagi pandangan Al-Farabi, sebuah karya seni adalah hasil dari imajinasi seseorang yang ditampilkan melalui karya seni itu sendiri atau dapat dikatakan bahwa karya seni pada hakekatnya adalah bersifat imaginatif. Dengan begitu, karya seni dapat ditarik sebagai image, dan bukan sebuah tiruan terhadap segala hal yang bersifat zhahir. Oleh karenanya, tulisan ini akan sedikit banyak membahas tentang Al-Farabi dan pemikirannya terhadap estetika dan seni Islam.
Riwayat Hidup Al-Farabi
Al-Farabi nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi, ia lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Iaberasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik, Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diriuntuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupunkarya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.
Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat. Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.13Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika keadaa Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi. Kehidupan al-Farabi dapat di bagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikih, hadist, dan tafsir al-Qur’an. Ia juga mempelajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada masa itu. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sina ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di Baghdad ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifud daulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al- Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.
Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebunnya yang terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.
Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis dalam beberapa irama musik. Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-bukunya masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Adapun pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Kemudian Al-Farabi dikatakan meninggal dunia di Damsyik pada tahun 339H (950/951M) dalam usia 80 tahun.
Karya-karyanya
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al- Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagian besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sementara karya lainnya menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, logika, musik, mekanih, astronomi, dan politik. Di antara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi ma’ani al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain: al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat
11. As Syiasyah

Sementara beberapa ilmu mantiq telah dibahasnya dalam delapan bagian ;
1. Al Maqulati Al Asr
2. Al Ibarat
3. Al Qiyas
4. Al Burhan
5. Al Mawadi Al Jadaliyah
6. Al Hithobah
7. Al Hikmatu Munawahan
8. Al Syi’ir

Pandangannya Terhadap Estetika dan Seni Islam
Kesenian Islam adalah kesinambungan daripada kesenian pada zaman silam yang telah berkembang dan dicorakkan oleh konsep tauhid yang tinggi kepada Tuhan yang dalam itu,. kesenian islam memiliki keunikan dan khazanah sejarahnya yang tersendiri. Kesenian Islam terus berkembang di dalam bentuk dan falsafahnya yang berorientasikan sumber Islam yang menitikberatkan kesejajaran dengan tuntutan tauhid dan syara’.
Dalam jiwa, perasaan, nurani, dan keinginan manusia tertanamnya rasa suka akan keindahan dan keindahan itu adalah seni. Sebenarnya, kesadaran mengenai keindahan adalah satu faktor yang amat penting dalam Islam. Antara faktor yang penting dalam seni ialah hakikat seni itu, sehingga membawanya pada sebuah akar estetika dan manifestasinya dalam mengungkap dan menggambarkan isyarat tentang kewujudan transenden Yang Hakiki.
Seni adalah sesuatu yang bersifat abstrak, tidak dapat dipandang, didengar dan disentuh oleh jiwa tetapi tidak dapat dinyatakan melalui kata-kata. Sukar untuk mentakrifkan seni secara tepat sesukar untuk menerangkan konsep keindahan dan kesenangan itu sendiri. Al-Farabi menjelaskan bahawa seni sebagai ciptaan yang berbentuk keindahan. Baginya hakekat sebuah karya seni adalah bersifat imaginatif (mutakhayyil). Yang asal kata tersebut berasal dari kata dasarnya yaitu kh y l yang berarti membuat percaya. Sehingga penggunaan kata takhyil diperjelas sebagai sebuah rangkaian yang terkumpul dalam tindakan dan dapat menyebabkan respon langsung tanpa harus berpikir terlebih dulu terhadap sesuatu (karya seni).

Sebagimana dalam kitab Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi menerangkan arti kata takhyil sebagai proses kejiwaan yang akan menghasilkan sebuah persembahan berupa seni menjadi imaginatif, efektif, dan kreatif. Sebenarnya teori ini sama hanya seperti yang diungkapkanoleh Plato dan Aristoteles mengenai mimesis. Hanya saja berbeda dalam bentuk kata atau istilah. Namun, pada dasarnya takhyil atau imaginasi sudah terdapat kandungan pengertian di dalamnya, yaitu “meniru” atau “menyalin”. Di sini, penjelasan mengenai penyalinan tersebut dibuat bersifat aqliyah atau intelektual. Karena penyalinan secara aqliyah dalam karya seni memberikan perbedaan dengan diskursus ilmiah (scientific discourses).
Penyalinan dalam wacana ilmiah, sangat mendasarkan sesuatu yang menjadi pembahasannya bersifat objektivitas dan dapat dibuktikan secara logis serta absurd. Sedangkan penyalinan yang dilakukan secara aqliyah adalah bersifat subjektif, dengan mendasarkan pada imaginasi yang tidak membutuhkan pembuktian yang logis. Dengan begitu, penyalinan yang cocok untuk seniman adalah penyalinan imaginatif, karena penyalinan tersebut didasarkan pada hakekat bahwa objek-objek estetisnya dapat mempengaruhi jiwa seseorang.
Dalam hal ini, Al-Ghazali pun menjelaskan seni dengan maksud kerja yang berkaitan dengan rasa jiwa manusia yang sesuai dengan fitrahnya. Karena ketika seorang seniman membuat atau menciptakan sebuah karya seni, pada dasarnya terdapat relasi antara jiwanya dengan apa yang ia buat. Sehingga imaginasi yang ada dapat digambarkan melalui karya seninya tersebut. Untuk itu, jelas bahwa seniman dan karya seninya tidak dapat dicari kebenaran secara ilmiahnya tetapi dirasakan kenikmatan estetisnya dan semua orang pun dapat menikmatinya.
Bahkan dalam perspektif Islam, daya kreatif seni adalah dorongan atau desakan yang diberikan oleh Tuhan yang perlu digunakan sebagai bantuan untuk ‘memeriahkan’ kebesaran-Nya. Berseni haruslah terarah kepada perkara-perkara ma’ruf (kebaikan). Jiwa seni mestilah ditundukkan kepada fitrah asal kejadian manusia karena kebebasan jiwa dalam membentuk seni adalah menurut kesucian fitrahnya yang dikurniakan Sang Kuasa. Hingga pada realitasnya, seni lebih kurang sama dengan akal supaya manusia menyadari perkaitan antara alam, ketuhanan dan rohani atau dengan alam fisikal yang kemudian menyadari keagungan Tuhan dan keunikan penciptaan-Nya.
Konsep kesenian menurut Al-Farabi, selain sebagai kebebasan dalam mengekspresikan gagasan yang ada dalam dunia imaginasi seseorang juga memberikan penggambaran perwujudan ketauhidan pada Tuhan melalui manifestasi sifat-sifat Tuhan. Ia pun mengelompokkan pandangannya tentang hubungan objek-objek estetis dengan realitas kehidupan manusia, yaitu; pertama, tahsin (menghias, memberi gaya atau stilisasi), kedua, taqbih (perusakan atau deformasi), ketiga, mutabaqah (pemberian keseimbangan pada relasi antara dimensi jasmani dan dimensi rohani).
Sebagimana al-Farabi dalam estetikanya yang konsen pada seni musik. Karena dia adalah seorang teoritisi musik yang sangat penting. Baginya musik adalah hasil dari seni, yang mana musik itu menekankan pada kenikmatan yang diperoleh saat mendengar. Mengenai musik, digunakan sistem analisis berdasarkan pada Pythagorean. Sistem Pythagorean ini menjadi landasan pemikiran para musik sufi, dengan itu musik tidak hanya berfungsi untuk kenikmatan di saat mendengar, namun not-not dan gerakan-gerakan dalam tarian danmusik sufi tersebut memiliki kandungan dan hubungannya dengan realitas serta untuk menyembah Tuhan dengan gerakan yang berbeda.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa estetika dan seni Islam ternilai pembawaan dasarnya bagi al-Farabi adalah dalam bentuk spiritual dengan hubungannya pada Yang Transenden. Karena hal ini terkait dengan alam ruhani jiwa manusia. Oleh sebab itu, larangan yang terhadap penyerupaan dalam sebuah karya seni dapat ditarik interpretasinya kepada keyakinan bahwa karya seni yang baik adalah mengutamakan nilai spiritual dan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan yang ada pada alam semesta ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 1995. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, Zainal Abidin, 1968. Negara Utama (Madinatul Fadilah). Jakarta: PT. Kinta.
Bakker, JMW, 1986. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius.
Bakar, Osman, 1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.
Fakhry, Majid, 1987. A History of Islamic Philsopy terj. R. Mulyadi Kartanegara Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoesin, Oemar Amin, 1964. Filsafat Islam Sejarah dan Perkembangannya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang.
Leaman, Oliver, 2005. Estetika Islam. Terjemah dari Islamic Aesthetic (2004). Bandung: Mizan.
Mustofa, A., 2005. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun, 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Siddik, Abdullah, 1984. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra Masa.
W. M, Abd. Hadi, 2007. Estetika dan Falsafah Seni. Jakarta: Universitas Paramadina.

Tidak ada komentar: