Cari Blog Ini

Kamis, 28 Mei 2009

Pandangan Pemikir Islam Tentang Ilmu Kalam



Ilmu Kalâm merupakan salah satu dari beberapa kajian keilmuan yang tumbuh dan berkembang serta telah menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama islam. Seperti cabang-cabang keilmuan yang telah banyak di konsumsi oleh mayoritas kaum Muslim. Jika kita melihat secara bahasa, “'ilmu kalâm” berasal dari bahasa Arab yaitu 'Ilmu adalah ma'rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman). tetapi Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan sebagai akumulasi persamalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum. Sedangkan kalâm, menurut Abû Bakar al-Razî (w.478 H/1086 M) diambil dari kata kalm, yang berarti al-jurh atau cacat dan kelemahan. al-Taftazânî (w. 783 H/1391 M) juga mengemukakan dengan analisisnya bahwa lafadz kalâm dapat diinggriskan yaitu dialectic, yang berarti diskusi atau perdebatan.

Tetapi, secara terminologis ilmu kalam ini telah banyak didefinisikan oleh para Pemikir Islam seperti; Jahm bin Safwan, Washil bin 'Atha', al-Juwayni, al-Iji, dan al-Jurjani menganggap bahwa ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah islam. Sementara Ibn Khaldun (w.785 H/1364 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-dalil rasional ('aqliyyah) serta kritik terhadap ahli bid'ah yang melakukan penyimpangan teologis dari madzhab salaf dan Ahlussunnah. Sedangkan menurut al-Mulla 'Alî al-Qari (w.997 H/1605 M) bahwa ilmu kalâm adalah ilmu-ilmu mengenai teologi keagamaan atau yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan. Kelihatannya, definisi ini agak mirip dengan yang dikemukakan 'Abd. al-Fattâh yaitu ilmu yang berfungsi untuk menguatkan teologi keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Berdasarkan definisi yang telah dikaji di atas, ternyata masih banyak ulama lain yang menyebutkan atau memberikan definisi dengan istilah yang berbeda-beda. Seperti Abû Hanîfah (w.150 H/787 M) yang menggunakan dengan istilah 'ilm al-fiqh al-akbar. Al-Baghdâdî (w. 429 H/1037 M) menyebutnya ushûl al-dîn. Kemudian ada juga yang mengatakan 'ilm al-tauhîd, 'ilm al-nazhar wa al-istidhlâl, dan lain sebagainya. Dari berbagai definisi itu jelaslah bahwa ilmu kalam sering di terjemahkan dengan sebutan teologi, tetapi yang sangatlah perlu untuk diperhatikan adalah, makna teologia disini tidaklah sama persis dengan teologi yang ada dalam agama Kristen, sebagai contoh misalnya: dalam pengertian teologi yang berkembang di dalam ranah agama Kristen, ilmu tentang hukum-hukum atau syari’at keagamaan akan termasuk dalam teologi. Disebabkan hal itu pula, sebagaian dari para pemikir yang menginginkan pengertian yang lebih “tepat sasaran” akan menerjemahkan ilmu kalâm dengan pengertian teologi dialektis ataupun teologi rasional, dengan begitu ilmu kalâm terlihat sebagai suatu disiplin keilmuan yang sangatlah khas Islam.

Berangkat dari sanalah, maka terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalâm dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar. Sebenarnya ilmu kalâm hadir karena beberapa faktor yang menyelimutinya, 'Abd. Al-Fattah menjelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut, di antaranya;

1. Faktor-faktor Internal; diklasifikasikan bahwa faktor-faktor intern umat Islam itu terdapat dua macam: Pertama, al- Qur'an yang di dalamnya banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan, melakukan penelitian mengenai fenomena alam, mengangkat kedudukan orang yang berilmu, membantah taqlid dalam berakidah, dan membantah akidah yang dibangun dengan spekulasi. Sedangkan yang kedua, peristiwa politik yang berawal dari fitnah besar yang terjadi setelah terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan sehingga melahirkan konflok politik yang kemudian merembet ke dalam persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan argumentasi teologis.


2. Faktor-faktor Eksternal; yang terdapat karena pengaruh futûhât (penaklukkan)yang dilakukan kaum Muslim terhadap wilayah Romawi, Persia, dan India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama non-Islam. Disamping itu juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafat ke dalam bahasa Arab.

Meskipun sudah jelas mengenai awal mula munculnya ilmu kalâm, akan tetapi perbedaan pandangan tetaplah gencar. Dari ide-ide al-Qur'an di ataslah maka kelompok Mutakallimûn menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang dikenal dengan sebutan ilmu kalâm. Tetapi secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalâm dalam sistem ajaran Islam. Karena pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalâm (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.

Selain itu, Imam Syafi'i berlaku kasar terhadap kalâm dan Mutakallimûn karena menurutnya Ahl kalâm itu telah terbukti membawa hasil kerja nalar yang berbahaya bagi umat. Perlakuan kasar ini juga disetujui oleh Ibn Taimiyyah yang menganggap bahwa kaum Mutakallimûn telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushûl al-dîn. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalâm, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushûl al-dîn itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Tetapi pandangan Ibn Taimiyyah ini merupakan tuduhan yang diberikan oleh kaum Mutakallimûn, menurut mereka.

Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Dîn al-Râzi. kalâm menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Râzi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh al-Qur’an.

Pandangan-pandangan di atas ini, disanggah oleh kaum Mutakallimûn sendiri, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalâm yang dikembangkan kaum Mutakallimûn terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Mutakallimûn mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).

Meskipun ulama-ulama tersebut di atas telah mengkritik tajam terhadap ilmu kalâm, tetapi al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalâm adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Dan ia berupaya untuk memberi sanggahan-sanggahan kepada mereka. Imam al-Zarkasyî juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimûn sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan 'aqliyyah dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.

Mayoritas Ahl kalâm berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, yang terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Sementara Abû Mâ’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. Al-Baqillânî mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris. Maka tak ada salahnya jika ilmu kalâm dipelajari oleh semua kaum Muslim yang sesungguhnya ilmu kalâm menjadi bagian terpenting dalam islam.

Daftar Pustaka:

 Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Islam. Buku pertama, terj. Mizan. Bandung: 2003.
 Muhammad Maghfur W. MA. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Al-Izzah. Bangil-Jatim: 2002.

Tidak ada komentar: